Diduga Terpapar Radikal Islam, Polisi Muslim Perancis Menusuk Mati 4 Rekannya
Perancis - Seorang polisi Perancis yang gres memeluk agama Islam menusuk empat orang rekannya sebab diduga terpapar pemikiran Islam radikal.
Polisi Perancis telah membuka kembali penyelidikan internal atas seorang perwira senior polisi sebab diduga menjadi simpatisan militan Islam.
Tiga sumber yang erat dengan polisi mengatakan, penyelidikan tersebut sebagai cuilan dari tinjauan keamanan sesudah seorang polisi pekerja IT menewaskan empat rekannya dalam serangan memakai pisau.
Rekan-rekan dari Mickael Harpon, seorang mualaf, telah memberi tahu atasan mereka empat tahun kemudian bahwa mereka khawatir karen a Mickael berperilaku tidak biasa, tetapi tidak ada pemeriksaan resmi yang diluncurkan dan beliau tetap melaksanakan pekerjaannya.
Harpon ditembak mati oleh polisi sesudah menikam empat rekan kerjanya dengan pisau dapur pada 3 Oktober 2019 di markas polisi Paris. Menteri Dalam Negeri Perancis Cristophe Castaner menghadapi ajakan dari politisi oposisi untuk berhenti sebab kehilangan kesempatan untuk melihat radikalisasi Harpon.
Menurut dua dari tiga sumber yang erat dengan polisi yang berbicara kepada Reuters perihal penyelidikan terhadap perwira senior itu, kepala polisi sedang bersiap untuk membebastugaskan beliau sebagai tindakan pencegahan. Salah satu dari tiga sumber, dan sumber polisi lainnya, menyampaikan senjata tugasnya telah diambil darinya.
Sumber-sumber tersebut menyampaikan bahwa petugas polisi tersebut bekerja sebagai pemimpin di unit yang mempunyai susukan ke daftar orang-orang yang sangat sensitif yang terkait dengan terorisme.
Menurut tiga sumber tersebut, beberapa tahun yang kemudian sesudah ia masuk Islam, perwira itu menganut praktik-praktik keagamaan konservatif yang - walaupun tidak menawarkan bersimpati kepada militan Islam - hal ini cukup menjadi perhatian untuk mendorong sebuah penyelidikan.
Salah satu sumber menyampaikan pemeriksaan berlangsung pada 2011. Investigasi tersebut tidak menghasilkan tindakan sebab pemeriksaan menyimpulkan tidak ada bukti radikalisasi. Sejak itu, petugas itu tidak melaksanakan apa pun untuk meningkatkan kewaspadaannya, salah satu sumber mengatakan.
Namun, serangan pisau 3 Oktober mendorong keputusan untuk menilik kembali masalah itu, kata tiga sumber tersebut.
"Kepala polisi tidak sanggup membiarkan masalah ini ditutup", kata salah satu dari tiga sumber, menyerupai yang dikaporkan Reuters, Jumat (11/10/2019).
Seorang juru bicara dari kantor polisi Paris menolak berkomentar.
Dalam masalah Harpon, sebuah laporan internal yang dikeluarkan oleh otoritas Perancis menyampaikan bahwa pada 2015 dua rekan kerja Harpon mengeluh perihal perilakunya.
Teknisi IT, yang tinggal bersama istri dan dua anaknya di pinggiran kota Paris dengan komunitas Muslim yang besar tersebut, berasal dari pulau Martinique di Karibia Perancis. Dia orang yang kesulitan mendengar.
Setelah orang-orang bersenjata membunuh 12 staf di majalah satir Perancis Charlie Hebdo pada Januari 2015, Harpon menyatakan penghinaan terhadap para korban. Rekan kerjanya, ketika mendengar hal itu, menciptakan laporan mulut kepada atasannya, demikian berdasarkan laporan internal tersebut.
Menurut pihak berwenang, rekan kerja Harpon menolak untuk mengajukan keluhan tertulis, dan keluhan tersebut tidak pernah melampaui ke atasan departemen Harpon. Rekannya menyimpulkan bahwa Harpon tidak menjadikan ancaman.
Para pejabat dengan serikat pekerja polisi, anggota parlemen, dan sumber-sumber kepolisian menyampaikan sementara ini mereka tidak sanggup mengomentari masalah Harpon secara khusus, keengganan polisi untuk melaporkan rekan kerja berasal dari beberapa faktor.
Hal itu termasuk kurangnya definisi aturan mengenai radikalisasi, batas yang kabur antara dedikasi terhadap agama dengan radikalisme, dan keengganan untuk merusak barisan dalam kepolisian yang penuh dengan ide-ide kerja tim dan kepercayaan.
Menurut lima sumber yang erat dengan polisi, satu faktor yang menghentikan seseorang melaporkan koleganya ialah kekhawatiran akan dicap rasis atau anti-Muslim.
Eric Poulliat, seorang anggota DPR dari partai LaRem Presiden Emmanuel Macron, menyampaikan ia menemukan bahwa kekhawatiran ialah benang merah ketika ia meneliti sebuah laporan, yang diterbitkan tahun ini, perihal radikalisasi dalam pelayanan publik Perancis.
Solusinya, katanya, ialah dengan mengabaikan afiliasi agama atau etnis dari orang yang terlibat.
"Seorang kolega harus diperlakukan menyerupai orang lain dan kalau beliau melewati garis merah, beliau melewatinya, dan itu harus diisyaratkan," kata Poulliat.[JD]
Polisi Perancis telah membuka kembali penyelidikan internal atas seorang perwira senior polisi sebab diduga menjadi simpatisan militan Islam.
Tiga sumber yang erat dengan polisi mengatakan, penyelidikan tersebut sebagai cuilan dari tinjauan keamanan sesudah seorang polisi pekerja IT menewaskan empat rekannya dalam serangan memakai pisau.
Rekan-rekan dari Mickael Harpon, seorang mualaf, telah memberi tahu atasan mereka empat tahun kemudian bahwa mereka khawatir karen a Mickael berperilaku tidak biasa, tetapi tidak ada pemeriksaan resmi yang diluncurkan dan beliau tetap melaksanakan pekerjaannya.
Harpon ditembak mati oleh polisi sesudah menikam empat rekan kerjanya dengan pisau dapur pada 3 Oktober 2019 di markas polisi Paris. Menteri Dalam Negeri Perancis Cristophe Castaner menghadapi ajakan dari politisi oposisi untuk berhenti sebab kehilangan kesempatan untuk melihat radikalisasi Harpon.
Menurut dua dari tiga sumber yang erat dengan polisi yang berbicara kepada Reuters perihal penyelidikan terhadap perwira senior itu, kepala polisi sedang bersiap untuk membebastugaskan beliau sebagai tindakan pencegahan. Salah satu dari tiga sumber, dan sumber polisi lainnya, menyampaikan senjata tugasnya telah diambil darinya.
Sumber-sumber tersebut menyampaikan bahwa petugas polisi tersebut bekerja sebagai pemimpin di unit yang mempunyai susukan ke daftar orang-orang yang sangat sensitif yang terkait dengan terorisme.
Menurut tiga sumber tersebut, beberapa tahun yang kemudian sesudah ia masuk Islam, perwira itu menganut praktik-praktik keagamaan konservatif yang - walaupun tidak menawarkan bersimpati kepada militan Islam - hal ini cukup menjadi perhatian untuk mendorong sebuah penyelidikan.
Salah satu sumber menyampaikan pemeriksaan berlangsung pada 2011. Investigasi tersebut tidak menghasilkan tindakan sebab pemeriksaan menyimpulkan tidak ada bukti radikalisasi. Sejak itu, petugas itu tidak melaksanakan apa pun untuk meningkatkan kewaspadaannya, salah satu sumber mengatakan.
Namun, serangan pisau 3 Oktober mendorong keputusan untuk menilik kembali masalah itu, kata tiga sumber tersebut.
"Kepala polisi tidak sanggup membiarkan masalah ini ditutup", kata salah satu dari tiga sumber, menyerupai yang dikaporkan Reuters, Jumat (11/10/2019).
Seorang juru bicara dari kantor polisi Paris menolak berkomentar.
Laporan
Dalam masalah Harpon, sebuah laporan internal yang dikeluarkan oleh otoritas Perancis menyampaikan bahwa pada 2015 dua rekan kerja Harpon mengeluh perihal perilakunya.
Teknisi IT, yang tinggal bersama istri dan dua anaknya di pinggiran kota Paris dengan komunitas Muslim yang besar tersebut, berasal dari pulau Martinique di Karibia Perancis. Dia orang yang kesulitan mendengar.
Setelah orang-orang bersenjata membunuh 12 staf di majalah satir Perancis Charlie Hebdo pada Januari 2015, Harpon menyatakan penghinaan terhadap para korban. Rekan kerjanya, ketika mendengar hal itu, menciptakan laporan mulut kepada atasannya, demikian berdasarkan laporan internal tersebut.
Menurut pihak berwenang, rekan kerja Harpon menolak untuk mengajukan keluhan tertulis, dan keluhan tersebut tidak pernah melampaui ke atasan departemen Harpon. Rekannya menyimpulkan bahwa Harpon tidak menjadikan ancaman.
Para pejabat dengan serikat pekerja polisi, anggota parlemen, dan sumber-sumber kepolisian menyampaikan sementara ini mereka tidak sanggup mengomentari masalah Harpon secara khusus, keengganan polisi untuk melaporkan rekan kerja berasal dari beberapa faktor.
Hal itu termasuk kurangnya definisi aturan mengenai radikalisasi, batas yang kabur antara dedikasi terhadap agama dengan radikalisme, dan keengganan untuk merusak barisan dalam kepolisian yang penuh dengan ide-ide kerja tim dan kepercayaan.
Menurut lima sumber yang erat dengan polisi, satu faktor yang menghentikan seseorang melaporkan koleganya ialah kekhawatiran akan dicap rasis atau anti-Muslim.
Eric Poulliat, seorang anggota DPR dari partai LaRem Presiden Emmanuel Macron, menyampaikan ia menemukan bahwa kekhawatiran ialah benang merah ketika ia meneliti sebuah laporan, yang diterbitkan tahun ini, perihal radikalisasi dalam pelayanan publik Perancis.
Solusinya, katanya, ialah dengan mengabaikan afiliasi agama atau etnis dari orang yang terlibat.
"Seorang kolega harus diperlakukan menyerupai orang lain dan kalau beliau melewati garis merah, beliau melewatinya, dan itu harus diisyaratkan," kata Poulliat.[JD]
Sumber https://jarumdetik.blogspot.com/
Belum ada Komentar untuk "Diduga Terpapar Radikal Islam, Polisi Muslim Perancis Menusuk Mati 4 Rekannya"
Posting Komentar